February 28, 2011

Kado Istimewa dari Dini

    Hujan turun deras sekali penglihatan sedikit kabur karena kaca mobil tertutup embun yang menempel dikaca depan. AC kunyalakan walaupun udara terasa dingin menusuk tulang. Saat itu sudah jam 7.30 pagi, jadi sudah tak mungkin lagi menunda untuk berangkat kekantor apalagi jam 8.00 ada janji meeting dengan client.

    Mobil kujalankan pelan dan hati hati, maklum jalan di depan rumah tidak begitu lebar. Dari rumah ke jalan raya tidaklah begitu jauh setelah satu tikungan kekiri maka akan kelihatan sebuah kaca spion besar warna merah diperempatan jalan dan itulah jalan raya yang akan membawa arah perjalananku menuju kantor.

    Persis ditikungan sebelah kiri di depan sebuah wartel seseorang melambaikan tangan meminta aku berhenti untuk minta tumpangan. Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena terhalang hujan yang sangat deras, tetapi dia berambut sebahu dan berseragam SMU.

    Mobil kupelankan, dan tanpa tunggu aba aba lagi dia lansung membuka pintu depan dan duduk disebelahku.

    “Maaf Om saya kehujanan, dari tadi nunggu angkot penuh melulu.. Ya dari pada terlambat terpaksa mobil Om kustop, sorry ya Om.”

    Dia berkata polos sambil mengibaskan rambutnya yang menempel di kerah baju karena basah.Sekilas tanpa sengaja tengkuknya kelihatan, putih.. Bersih.. Dan ditumbuhi rambut rambut halus yang mebentuk satu garis lurus ditengahnya.

    “Nggak apa apa kok, memang hujan hujan begini angkotnya jadi sulit, apalagi diujung jalan sana biasanya kan banjir, jadi sopir angkot jadi enggan lewat sini.”

    Aku menjawab seadanya sambil kembali konsentrasi melihat jalan yang sudah digenangi air hujan.

    “Om kantornya dimana,” dia memecah kesunyian.

    “Di daerah kuningan, memangnya kamu sekolah dimana,” aku bertanya sambil melirik wajahnya.

    Wow rupanya seorang bidadari kecil sedang duduk disebelahku, wajahnya sungguh cantik. Bibirnya tipis kemerahan, hidungnya runcing dan mancung sedangkan alis matanya hitam melengkung tipis diatas matanya yang bulat bersinar.

    Aku sedikit gugup dan kehilangan konsentrasi, mobil tiba tiba memasuki genangan air yang cukup dalam. Air terbelah dua dan muncrat kepinggir seperti gulungan ombak pantai selatan.

    “Hati hati Om, banyak genangan dan licin..! Kita bisa slip nih,” dia mengingatkan sambil menepuk pundakku.

    “I.. i.. ya” jawabku sedikit tergagap.

    “Kamu sekolah dimana,” kuulangi pertanyaan yang belum dia jawab sekedar menghilangkan rasa kaget dan gugup yang datang tiba tiba.

    Perempuan memang makhluk yang luar biasa, aku sudah terbiasa menghadapi banyak ragam perempuan, mulai dari yang centil di karaoke, yang kenes di bar-bar sampai mantan pacar dirumah, tetapi kok aku tiba tiba seperti menjadi seperti seekor tikus di incar kucing dihadapan seorang anak SMU. Aku merasa kehilangan bahan pembicaraan, padahal dikantor aku terkenal tukang bikin ketawa dengan omonganku yang suka ngelantur.

    “Di.. ” dia menyebutkan sebuah sekolah di daerah Mampang Prapatan.

    “O.. Kalau begitu kamu bisa ikut sampai timah, nanti tinggal nyambung naik metromini.”

    Rasa gugupku mulai hilang, pengalaman sebagai tukang cipoak berhasil mengontrol dan mengembalikan rasa percaya diriku.

    “Makasih Om, kalau sudah sampai situ sih.. Gampang, jalan kaki juga nggak jauh kok.”

    “E.. ngomong ngomong kamu tinggal dimana sih, kok rasanya saya nggak pernah lihat kamu selama ini.”

    “Terang aja nggak pernah Om, orang aku baru pindah kok. Dulu aku sekolah di Bandung sama Ibu, tapi.. ” dia terdiam dan kelihatan wajahnya seperti menyembunyikan sesuatu, apalagi aku dan dia sama sekali belum berkenalan.

    “Oh.. Pantas aja dong, e.. e.. namamu siapa?” aku bertanya tiba tiba agar dia tidak merasa jengah karena aku tahu dia tidak mau meneruskan cerita tentang masa lalunya di Bandung sana.

    “Dini Om, Dini Saraswati.”

    “Wah.. Itu betul betul sebuah nama yang pas buat kamu,” aku mulai melepaskan tembakan pertama sambil tersenyum semanis mungkin, ha ha ha ha ha awas ada semut.

    “Ah.. Om bisa aja,” dia menjawab sambil tersipu. Woouu.. Hatiku meronta melihat rona pipinya yang tiba tiba memerah bak awan senja diufuk barat. Awan diufuk barat merah apa kuning ya! sebodoh amatlah..

    “Tolong ambilkan uang di box dibawah tape itu Din, buat bayar tol.”

    Dia menundukkan badan untuk menjangkau uang ke dalam box, aku melirik ke kiri, tiba tiba pemandangan indah terbentang di sela sela kerah bajunya. BH ukuran 34b sedang terisi dengan sempurna oleh gelembung payudara yang kelihatan tambah putih dibalik baju seragamnya.

    “Yang ini Om.. Oup,” tiba tiba dia menyadari aku sedang menatap kedua payudaranya yang kelihatan jelas dari balik kancing baju yang terbuka diurutan paling atas.

    “Maaf, Iya yang itu.. Yang lima ribuan,” aku menjawab sambil memalingkan muka dan lansung menginjak rem karena mobil di depan berhenti tiba tiba. Tangan kanannya yang tadinya akan menutup kerah baju tiba tiba menggapai sesuatu untuk pegangan agar dia tidak terantuk ke dashboard mobil yang kurem secara mendadak.

    Kali ini dia berteriak kecil
    “Maaf Om aku nggak sengaja,” tiba tiba dia menutup muka dengan kedua tangannya karena malu dan jengah, soalnya sewaktu mencari tempat berpegangan tadi, tangannya masuk kesela sela pahaku dan dia memegang sesuatu yang sedang bergerak tumbuh menjadi keras nun dibalik CD ku.

    Aku merasakan hentakan yang luar biasa keluar dari pangkal pahaku menjalar ke batang penis dan terus bergerak bagai kilat ke arah kepalanya, gerakan itu begitu dahsyat dan tiba tiba akibat terpegang oleh tangan halus si Dini. Ruisleting celana ku seperti didorong sesuatu sehingga menonjol runcing kedepan dan hapir mentok di stir mobil.

    “Alah mak. Jan..” kepalaku atas bawah berdenyut kencang, tetapi klakson mobil dibelakang mengejutkan aku agar segera memberi jalan.

    “Oi! pacaran jangan di tol, no pergi ke..” sisopir mengumpat sambil menyebutkan sebuah nama pantai yang terkenal sebagai surganya mobil goyang.

    Itu adalah awal perkenalanku dengan Dini, gadis Bandung kelas 3 SMU di Mampang Prapatan. Semenjak itu hampir tiap pagi Dini dengan setia menunggu di depan wartel untuk berangkat bareng dengan mobilku.

    Kami mulai bercerita tentang keadaan masing masing, rupanya dia pindah ke Jakarta ikut pamannya karena orang tuanya bercerai dan Ibunya tidak sanggup membiayai sekolahnya.

    Di Jakarta dia hidup sangat prihatin, maklum tinggal dengan orang lain walaupun dia paman sendiri tetapi tentu saja sipaman akan lebih memperhatikan kepentingan anak serta istDinya terlebih dahulu sebelum buat si Dini.

    Hampir tiap hari dia hanya dibekali uang yang hanya cukup buat ongkos angkot sedangkan buat jajan dan lain lain adalah suatu kemewahan kalau memang lagi ada.

    Hari demi hari berlalu dengan cepat dan aku dengan Dini kian dekat saja, kalau dia disekolah ada kegiatan ekstrakulikuler maka pulangnya dia akan mampir ketempat kerjaku, maklum kantorku berada diatas sebuah plaza yang cukup besar.

    Tugasku sebagai salah satu manager dengan gampang bisa kutinggalkan 1 atau 2 jam, toh ada sekretaris yang ngurusin. Aku juga tidak menegerti kenapa Dini jadi begitu dekat denganku, kami jalan bersama, nonton makan dan adakalanya dia minta dibeliin sesuatu, seperti baju ataupun parfum. Tetapi itu tidak terlalu seDing yang paling dia harapkan dari aku adalah perhatian karena pernah satu hari dia terus terang bicara.

    “Om maaf ya kalau 2 minggu kemaren Dini nggak nemui Om dan juga sama sekali nggak ngasih kabar.”

    Dia berhenti sejenak sambil menatap aku, saat itu kami sedang berjalan dipantai Ancol, dia memegang erat lenganku sambil menyandarkan kepalanya. Tanpa dia sadari tangan kiriku sudah berulangkali menyentuh ujung payudaranya apalagi ketika dia semakin erat merangkul. Payudara itu begitu kenyal dan kelelakianku tiba tiba mulai terusik.

    “Memangnya ada apa,” aku menjawab sambil mengajak dia duduk disebuah bangku tembok dibawah pohon kelapa.

“Tadinya Dini sudah mau berhenti sekolah, habisnya uang sekolah sudah 2 bulan tidak dibayar dan buat beli buku juga nggak punya.” Dia merenung sambil memandang jauh ketengah laut yang ditaburi kerlap kerlip lampu nelayan dan sesekali kelihatan lampu pesawat yang hendak turun di Sukarno Hatta.

“O.. Itu masalahnya, lantas kenapa kamu nggak ngomong aja sama Om”

“Nggak enak Om, ntar dikirain saya matre lagi..” dia menjawab sambil tersenyum.

“Dini.. Gini aja deh, kamu kan sudah tahu kalau Om mau Bantu kamu, tapi kalau kamu nggak bilang, Ya terang aja Om nggak tahu! iya toh.”

“Makasih Om.. Terus terang memang Dini mau minta tolong Om untuk yang satu ini. Om nggak usah mikirin mau Bantu yang lain deh, tapi aku akan berterimakasih sekali kalau Om bisa menyelamatkan sekolahku.. Itu aja.”

Dia tertunduk, wajahnya begitu sendu dan sorot matanya hampa tanpa gairah. Aku begitu terenyuh melihat seorang Dini yang hari harinya seharusnya dihiasi oleh tawa ceria dan penuh optimisme ternyata harus menanggung beban demikian berat.

“Oup.. ” Dini berteriak kecil karena kaget ketika kupingnya kutiup untuk memutus siklus lamunannya.

“Om nakal ya..” dia menepuk bahuku dengan mesra dan akhirnya malah memeluk aku.

Bau harum tubuhnya memenuhi rongga hidungku dan membangkitkan keinginan untuk balas memeluknya. Kuraih bahu kiDinya kurebahkan dia diatas kedua pahaku, dia sedikit kaget, ingin menolak tetapi itu terjadi demikian cepatnya. Akhirnya Dini meraih tangan kiriku dan entah sengaja atu tidak tanganku didekap erat didadanya. Oooh.. Lembutnya daging itu, payudara muda yang masih segar dan ranum telah mengalirkan sensasi elektrik ribuan volt ke sekujur tubuhku.

Aku yakin Dini merasakan sesuatu yang bergerak menyentuh punggungnya, karena posisi tidurnya persis tepat di atas batang penisku. Aku tahu itu karea Dini berusaha mengangkat pungungnya untuk kembali duduk dan wajahnya kelihatan memerah karena malu. Tapi dengan lembut gerakan duduknya kutahan dengan menekan dadanya.

“Din.. Sudah tidur aja.. Nih Om kipasin biar nggak gerah.”

Aku hanya sekedar bicara karena jujur aja otakku sudah ditaburi bayangan lain yang lebih seru. Tapi kuyakinkan diriku.

“Ini si Dini yang sama sekali belum berpengalaman, sedikit saja kamu salah langkah akan bubar semuanya. Sabar.. Sabar, gunung nggak usah dikejar emang dia nggak pernah lari kok.”

Dia kembali tidur dipangkuanku dan sekarang dia malah membiarkan tanganku menekan kedua payudaranya. Kulihat nafasnya mulai tidak beraturan ketika pelan pelan tanganku bersentuhan dengan pucuk payudaranya. Ini adalah pengalaman pertama buat payudaranya disentuh tubuh laki laki. Walaupun itu hanya dari balik baju dan BH, tetapi buat Dini yang baru pertama merasakan, sudah membuat dia sulit bernafas karena mulai terangsang.

“Din kita pulang yok, sudah jam 8 nanti pamanmu bingung dan lapor polisi.” Kataku sambil bercanda.

“Nanti aja Om.. Bentar lagi, Dini masih ingin disini 2 jam lagi,” dia makin erat memelukku.

“Oupt.. Besok besok kita bisa jalan ke sini lagi, tapi kalau kamu dimarahin karena terlambat pulang, ya.. Kita akan kesulitan untuk jalan jalan lagi..”

Aku berkata sambil mebangunkan Dini dari pangkuanku.

“Ok deh Om..” dan secepat kilat dia mengecup pipiku. Aku hanya bisa terdiam kaget, karena nggak nyangka.

“Lho kok bengong Om.. Katanya mau pulang, ayo.” Dini menarik tanganku.

“Ayo,” kami berjalan berdekapan.

Dua tahun sudah berlalu, hari itu hari Jumat dan Dini memberitahuku agar aku menemuinya di tempat biasa kami ketemu, di sebuah café dibawah kantorku jam 4 sore. Aku sampai disitu persis jam 4, tapi aku nggak lihat batang hidungnya si Dini, tiba tiba ada bisikan lembut di belakang kupingku.

“Surprise!!”

Aku sempat nggak percaya dengan apa yang kulihat. Seorang wanita cantik dengan celana jean dan kaos ketat berdiri di depanku. Pahanya yang panjang dan mulus terlihat jelas dibawah balutan celana jean. Disela pahanya tergambar jelas belahan kewanitaan yang belum pernah tersentuh laki laki. Kaos ketat mempertegas beberadaan dua gunung kembar didadanya, sedangkan bagian bawah kaos yang sedikit pendek memperlihatkan kulit putih, bersih dan dihiasi sebuah tahi lalat kecil tepat di bawah pusar. Oh.. Sungguh pemandangan yang indah dan langka.

“Jangan ngliatin gitu dong Om! emangnya nggak pernah lihat cewek pakai jean”

“Sorry, Din.. Kamu luar biasa, membuat Om jadi linglung.”

“Ah jangan ngerayu ah..”

“Nggak kok, hei kenapa tiba tiba kamu tampil beda begini,” aku bertanya sambil menggamit tangannya untuk mencari tempat duduk.

“Ehem.. Ada yang lupa rupanya, hari Ini aku bukan anak SMU lagi, aku sudah lulus, lulus, lulus dan merdeka dari segala pasungan dan aturan sekolah.. Katanya sambil berlagak kayak Rendra baca puisi.

“Eh ingat kita lagi di café.. Tuh lihat tuh orang orang pada mandangin kamu.”

“Sorry lah, habisnya hanya dengan Om aku bisa berbagi rasa jadi jangan salahkan daku kalau nggak bisa nahan diri.”

“Om ku yang baik, hari ini aku ngucapin terimakasih yang sebesar besarnya, karena kalau bukan Om yang Bantu sudah pasti sekolahku berantakan.”

Dia berdiri dari kursinya dan dengan cepat memberikan ciuman Dingan dipipiku.

“Din, nggak enak dilihatin tuh” aku berlagak alim lah dikit.

“Justru karena banyak yang lihatin Dini brani nyium Om, kalau ditempat yang sepi.. Wah bisa bahaya dong..!” Dia mencubit hidungku dengan gemas.

Aku bisa menduga isi fikiran orang orang disekitar kami, “Lha ini bapak sama anak atau Om sama.. Pacar mudanya ya!”

Mereka nggak salah, Dini adalah seorang gadis cantik yang sedang tumbuh, sedangkan aku adalah laki laki ‘Tua sih belum tapi muda sudah lewat’ ibarat mangga sudah mengkal kata orang Betawi, sudah nggak enak dirujak.
Tapi waktu, tempat dan kesempatan mempertemukan kami sehingga membuat kehidupan saling mengisi dan malah sudah saling membutuhkan. Aku butuh semangat dan gairah muda yang berkobar dari Dini sedangkan dia butuh tempat berlindung yang kokoh dan teduh dari aku.. Klop deeh.

“Hei jangan nglamun,” Dini mencubit pahaku ketika pelayan sudah berdiri tepat di depanku tapi aku tidak menghiraukannya.

“Oh oh.. Iya Mbak.. Es jeruk buat aku dan kelapa kopyor itu buat dia,” aku memberitahu Mbak pelayan sambil menunjuk Dini.

“Om.. Kalau kali ini Dini minta sesuatu boleh nggak!”

“Kenapa tidak.. Kalau Om sanggup pasti Om kabulkan”

“Sebetulnya Dini mau memberikan satu hadiah spesial buat Om tapi sebelumnya Dini minta sesuatu dulu.. Gimana Om.”"

“Ok nggak masalah”,. Jawab ku sambil mempersilahkan dia minum.

“Dini tahu kok, Om nggak pernah mau ngerayain HUT Om, tapi kali ini Dini minta untuk dirayakan sebagai hadiah juga buat Dini, kita rayain ya!” Kulihat wajahnya sangat berharap.

Betul sekali, aku Mamang paling ntidak suka dengan yang namanya pesta HUT gitu, jadi wajar saja kalau aku lupa hari itu aku sebetulnya ulang tahun.

“Well.. Kita mau ngerayain seperti apa, dimana degan siapa aja Din”"

“Maksud Dini kita rayain berdua aja, gimana kalau kita cari tempat yang jauh dari keramaian agar lebih leluasa, kayak dipantai gitu!” belum sempat kujawab Dini sudah ngrocos lagi.

“Jangan khawatir, Dini tadi sudah pamit mau nginap di rumah teman sama paman.”

Dia seperti bisa membaca jalan fikiranku.

“OK apa kita mau ke Ancol!”

“Jangan Om disana terlalu ramai, Dini ingin ke Merak disana kita bisa lihat ferry keluar masuk dermaga sepanjang malam”

Setelah telpon ke rumah memberitahukan bahwa aku ada rapat dinas, maka kami langsung tancap gas ke Merak. Disitu ada sebuah hotel pantai yang memang sudah tidak terlalu bagus lagi karena termakan usia, tetapi sangat strategis, tempatnya di pinggir jalan raya dan menghadap langsung ke selat Sunda dan Pelabuhan ferry.

Setelah mandi, Dini tidak lagi paklai jean ketat, tetapi rupanya dia sudah siap dengan baju tidur putih setengah transparan sehingga lekuk tubuh dan tonjolan dadanya begitu jelas.

“Din.. Om masih penasaran kamu mau ngasih hadiah spesial apa sih sama Om,” aku bertanya sambil telentang ditempat tidur.

“Nanti aja deh.. Om pasti bakal tahu juga,” Dini merebahkan diri disamping kananku.

Tiba tiba kami saling menghadap sehingga wajah kami hampir bersentuhan. Aroma nafasnya menerpa hidungku dan bau mulutnya yang wangi membuat gelora hasratku terpancing.

Kulingkarkan tangan kiriku ke tubuhnya, dia diam dan malah memejamkan matanya. Pelan tapi pasti bibirku menyentuh bibir Dini dengan lembut. Dini seperti tersentak tiba tiba. Tubuhnya sedikit mengigil dan nafasnya jadi memburu.

Kuhentikan gerakan bibirku persis diantara kedua bibir Dini, ujung lidahku kudorong keluar sedikit demi sedikit dan bibir Ranum itu mulai kujilati dengan penuh perasaan. Aku sengaja mengontrol gerakan dan keinginan ku sedemikian rupa agar Dini dapat merasakan suatu sensasi kelembutan yang membuai dan akan membuat dia terhanyut dalam kenikmatan.

“Din.. Boleh nggak Om teruskan,” aku berbisik sambil mengecup kupingnya.

Tubuhnya bergetar dan posisi tidurnya tidak lagi menghadap aku tetapi bergerak telentang dalam dekapanku.

“Nggak pa pa Om terus aja,” Dini menjawab disela deburan jantungnya yang menggila.

Aku segera mengecup kulit putih tepat dibelakang telinganya, Dini mengerang, “Om.. Geli.. Bulu roma Dini jadi berdiri semua.”

“Nggak apa apa Din,” aku menjawab sambil terus mengerakkan bibir dan lidahku meluncur di lehernya yang jenjang.

Leher mulus itu kujilat dengan lembut dan pelan, terus turun.. Turun.. Dan Ouh.. Baju tidur Dini tiba tiba terbuka di bagian dadanya, buah dada itu begitu ranum, kulitnya putih dan halus, disekitar putingnya berwarna coklat kemerahan, ditumbuhi bintik bintik putih halus melingkar memagari puting susunya yang kehitaman dan sudah berdiri tegak.

Sungguh satu pemandangan yang sangat indah melihat payudara muda dan baru pertama mengalami rangsangan sexual. Bentuknya masih bulat dan padat membuat aku tak sanggup lagi menahan diri.

Putting muda itu kuhisap dengan lembut dan tubuh Dini kembali bergetar.

“Oouuhh Om.. Dini nggak tahan Om. ”

“Nggak tahan apanya Din”

“Nggak tahu Om.. Nggak tahan aja”

Aku lupa kalau Dini belum pernah mengalami rangsangan seperti ini.

“Nggak pa pa Din jangan ditahan.. Kalau Dini ngerasa sesuatu ikutin aja,” aku berkata sambil memutarkan jempol dan telunjukku ke puting susunya.

“Om.. Terus Om..”

“Iya Din. Tapi bajunya buka dulu ya.”

“Terserah Om.. Aja”

Semua pakaian Dini kulucuti begitu juga aku, kami sekarang telanjang lonjong eh.. Bulat. Tubuh putih polos Dini sekarang terhidang pasrah dihadapanku. Sementara penisku sudah mulai teler mengeluarkan cairan putih bening pertanda siap tempur. Dini kembali kudekap dengan pelan, penisku kutempatkan persis ditengah belahan vagina Dini.

“Ouuh Om.. Dini jadi basah Om.. ”

“Iya sayang.. Om Juga”

Kugerakkan pinggulku turun naik penuh irama, pelan pelan penisku menyentuh clitoris Dini.

“A.. aduh Om..”

Cengkraman tanga Dini seperti mau merobek kulit punggungku. Dia mulai terangsang dengan hebatnya, matanya sayu dan redup, bibirnya merekah setengah terbuka dan basah oleh hasrat kewanitaan yang minta dipuasi. Sementara aku mulai merasakan cairan panas mengaliri batang penisku, itu adalah cairan vagina Dini yang keluar bagaikan mata air pegunungan sukabumi, kental dan licin.

Kedua tanganku mulai membelai payudara Dini denga gerakan melingkar dari bawah ke atas dan berakhir diputingnya yang tegak berdiri. Aku menyadari ini belumlah saat yang tepat untuk melakukan penetrasi, Dini harus diberi kenikmatan puncak senggama dengan cara lain, setelah nikmat klimaks itu dia cicipi buat pertama kali didalam hidupnya, barulah penetrasi akan akan kulakukan.

Pelan pelan kedua kaki Dini kudorong kepinggir, sekarang vagina Dini terbentang jelas dihadapan penisku. Bulunya sedikit kepirangan (nggak pernah disampoin kali) tepat diatas clitorisnya bulu tersebut membentuk lingkaran kecil seakan disiapkan buat tempat pendaratan lidahku.

Aku sudah mau menjilat clitoris itu sambil menunduk tapi tiba tiba.

“Om jangan dijilat ya.. Dini pasti nggak tahan, kata teman teman kalau vagina Dini dijilat, Dini pasti lansung klimaks.. Oouuh padahal Dini masih kepingin lebih lama ngerasain seperti ini.”

Kuurungkan niat untuk menjilat vagina Dini yang sudah terbuka lebar tersebut. Kulit di seputar vagina itu putih dan bersih, sementara ketika bibir vaginanya kusibak dengan jariku, kelihatan warna merah membayang dipinggir bibir dan lubang vagina yang sekarang telah dipenuhi cairan putih bening nan wangi.

Kakinya kuangkat lebih tinggi dan sedikit mengangkan sehingga bibir vagina Dini betul betul terbuka menantang penisku.

“Din.. Kita peting aja dulu ya.. ”

“Peting itu apa Om.. ”

“Nih. Begini nih”

Batang penisku kuletakkan persis ditengan tengah bibir vagina Dini dan dengan gerakkan turun naik yang berirama, penisku mulai menggosok bibir vagina dan clitoris Dini.

Aku merasakan tangan Dini mulai menekan pinggulku agar batang penisku lebih erat menepel di vaginanya. Gerakkanku semakin cepat dan pingul Dinipun mulai turun naik seirama tarian dangdut penisku. Lendir vagina Dini semakin banyak membuat penisku dengan leluasa bergerek didekapan vaginanya.

Akibat licin dan hangat, serta sensasi clitoris yang tersentuh oleh ujung penisku, aku mulai merasakan gerakan sperma menyeruak ingin menyemprot, kukendalikan diri agar airbah sperma ku jangan tumpah duluan sebelum Dini dapat kupuaskan. Gerakan Dini semakin lama semakin liar, dia mulat menggigit bahu dan tetekku, jemaDinya mencengkram kencan pantat belakangku.

“Oomm, Dini ngerasa melayang.. Dan oouuh ada yang mendesak dari bawah vaginaku.. Oh apa ini kok rasanya seperti ini.. Oomm Dini nggak tahan.. Om tolong gosokkan penisnya yang kencang.. Oouhh dia datang ouhh..”

Sebelum Dini terkulai lemas karena klimaks pertamanya, akupun merasakan gerakan sperma yang tiba tiba kuat menekan dari sela sela kedua torpedoku, terus meniti batang, terus kebagian kepala dan sekarang tepat diujung penis

“OOh.. Din.. Omm lepass sayang..”

Spermaku muncrat menyirami pusar Dini yang putih bersih, sperma itu begitu kental seperti ingus yang sudah mingguan nginap dihidung., diam dan sama sekali tidak meleleh ke bawah, sekalipun dia dipinggir perut Diniku yang telah tertidur pulas.

Jam 12 malam kami terbangun karena lapar, tetapi sebelum bangun tiba tiba aku menyentuh payudara Dini. Akibatnya ruar biaa.. Sa. Dini langsung terangsang dan mencium bibirku penuh semangat. Tak ada pilihan lain biarkan perut menunggu sebentar, toh yang bibawah perut juga kelaparan. Ciuman Dini kusambut dengan hangat, pelan tapi pasti pergumulan kembali terulang, remas berbalas remas, kecup dibalas kecup, jilat dibayar jilat, dan itulah yang saat ini sedang aku lakukan.

Vagina Dini kusibak dengan jariku, ujung lidahku menerobos dengan lembut menuju clitorisnya. Clitoris itu kuhisap bagaikan menghisap puncak es cream, lembut, pelan dan sedikit dijilat dengan ujung lidah. Dengan gerakan tiba tiba Dini mebalikkan tubuhku sehingga dia sekarang mengangkangi kepala ku, vaginanya persis diatas mulutku dan bibirnya siap mematuk penisku.

Bibir Dini yang lembut dan basah kurasakan menyentuh lubang kecil diujung penisku

“Ouuhh Din, jilat terus sayang.. Jangan kena gigi ya..”

“Iyyaa Om, tapi Om jangan diam dong..”

Aku lupa dengan tugasku karena keasyikan dihisap Dini. Lidahku kembali beraksi, kali ini sedikit menerobos ke dalam vagina karena posisi ku tepat dibawahnya. Dini menggelinjang hebat. Pahanya makin menjepit mukaku, tapi hisapan dan kulumannya dipenisku juga semakin kencang. Kupikir inilah saatnya keperawanan Dini harus kunikmati. Dengan klimaks yang sudah dia rasakan ditambah dengan rangsangan yang saat ini dia alami, maka penetrasi pertama ku ke dalam vaginanya kukira tidak akan membuat dia kesakitan.

Posisi kurubah, sekarang Dini telentang tepat dibawahku, kulihat bibirnya masih berlepotan ciran bening penisku, dia mejilat sudut bibirnya dan cairan itupun besih menghilang. Kakinya terentang membuat posisi vaginanya jelas terbuka, pelan pelan kutempatkan ujung penisku dilubang vagina Dini tetapi aku masih diam. Aku ingin dia merasakan sensasi dan getaran hangat dari ujung penisku.

“Oom ayo dong,” Dini menyodorkan payudara kirinya untuk kuhisap.

“Mm..” aku langsung menghisapnya, tubuh Dini kembali bergetar hebat dan tanpa dia sadari. Ujung runcing penisku pelan pelan telah membuka jalan masuk ke vaginanya.

“Om.. Perih..” Dini mendekapku ketika batang penisku telah hampir separuh jalan menuju singasananya.

Dinding vagina Dini yang masih perawan terasa menjepit dan menahan gerakan maju penisku, itu mungkin yang membuat dia merasa sedikit perih. Kutarik penisku dengan pelan, ujungnya kuarahkan ke clitorisnya. Dengan gerakan mencongkel yang lembut ujung penisku beradu dengan clitorisnya.

“Om aku nggak tahan..”

Melihat Dini mulai terangsang hebat, sasaran penisku kembali kuarahkan ke jalan yang benar, yaitu lubang kenikmatan. Kali ini ujung penis menerobos dengan lancar.

“Oh ouhh masuk semua ya Om..! rasanya sesak sekali.”

“Masih perih sayang,” kataku berbisik dikupingnya.

“Nggak papa Om terus aja”

“Nih.. Om tusuk ya.”

“Iya Oom.., yang dalam Om.”

“Iya.. Om sudah masuk semua nih, Dini.. Oh Din.. Terimaksih ya.. Sungguh nikmat sekali saya.. Ng..”

“Iya Om ini hadiah istimewa dari Dini.”

“Oh Om.. Dini nggak tahan. Terus Om. Yang kencang Om.. Ohh iya Om terus.. Kayak itu.. Aja Ouhh!”

Dengan iDingan erangan panjang, Dini mencapai klimaks untuk kedua kali dalam hidupnya.

“Om.. Maaf ya. Dini nggak tahan.., padahal Om belum lepas kan..”

“Nggak apa sayang.. Tidak satu jalan ke Jakarta, lewat Priuk bisa, lewat bekasi juga bisa.”

Dini mengerti apa yang kumaksud, penisku segera dibelainya dengan lembut, makin ke ujung, makin ke ujung terus. Terus.. Dan terus, aku nggak tahu apa apa lagi, yang aku rasa hanya panasnya lidah dan bibir Dini diseputar kepala penisku.

“Din.. Sayang terus.. Hisap.. Sambil dijilat dikit.. Oh. Ya dengan ujung idah sayang.. Oh.”

Pandanganku gelap, dunia terasa mengambang, tubuhku seperti mengapung, ketika semprotan demi semprotan cairan kenikmatan muncrat dari ujung penis dan membasahi bibir dan hidung Diniku.

Tiga tahun sudah berlalu, sekarang aku kehilangan Dini dia hilang ditelan banjir bandang Bahorok. Dia bekerja sebagai guide lepas pada satu perusahan pengelola pariwisata. Selama dia di SMU dulu, dia kukursuskan bahasa Inggris di salah satu tempat kursus ternama di dekat kantorku. Dengan modal bahasa dan wajahnya yang ayu serta sifatnya yang supel akhirnya dia diterima di perusahaan itu.

Masih kusimpan kaos oblong warna hitam dengan gambar lidah menjulur dan tulisan Bali di bawahnya, di dalam lemari pakaianku. Itu adalah hadiah dari Dini sewaktu dia menerima gaji pertamanya.

“Dini aku menyayangimu, aku merindukanmu.. Tetapi kau takkan pernah kembali lagi. Maaf kan aku sayang. Melalui surat ini aku inginkan Dini.. Dini lain menggantikan posisimu disampingku. Aku akan berikan semua apa yang pernah kau terima, dan akan kujaga dia sama seperti aku menjagamu.”

T A M A T

Resti, Mahasiswi PTS

Keluar dari SMU saya ingin sekali kuliah di Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah, dan akhirnya saya pun diterima di PTS yang sangat ternama di kota itu, maklum sudah dua kali ikut ujian PTN ga lolos trus.Waktu perkuliahan pun terus berjalan, dan setelah 3 bulan lebih saya mulai akrab dengan Resti ini dan mulai sering ngobrol (sebelumnya hanya kenal senyum saja, ataupun hanya menanyakan tugas mata kuliah). Dan ternyata Dia ini lagi cuti kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta hukum terkenal di Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah, tapi saya lupa waktu itu dia semester berapa, yang saya ingat waktu itu saya berumur 19 tahun dan dia berumur 22 tahun. Dan ternyata dia sudah punya pacar. Waduh hatiku lemas, walaupun sudah jarang ketemu tetapi statusnya masih resmi pacaran.

Saat kami berdua ngobrol, dia suka curhat tetapi saya suka mencuri pandangan ke arah buah dadanya yang indah menawan itu. Waduh pokoknya bulat tegap dan sedikit runcing, begitu juga kulitnya tidak satupun bekas goresan luka, hanya putih mulus dan pantatnya bulat menantang. Kalau dilihat dari belakang, waduh.. membuat kemaluan saya berdiri tegap dan ingin kuremas-remas dan ditancap dari belakang. Bayangkan kalau berjalan dia berlenggang-lenggok. Dia memiliki rambut yang indah, hitam dan panjang, berhidung mancung, berbibir tipis, alis dan bulu mata yang lentik (tapi seperti cewek bule). Dan memang cewek ini anak seorang yang kaya raya. Dan kami pun menjadi dekat dan akrab, tapi tidak tahu dia itu sukanya bareng dan jalan sama saya saja. Padahal kan banyak teman cewek di kampus itu ataupun cowok yang lain. Yaa.. tapi saya pun sangat senang sekali bisa jalan bareng sama Resty, Dia pun sering mengajak saya main ke rumahnya. Namun itu tidak pernah terjadi, mungkin saya tidak biasa main ke rumah cewek. Dan akhirnya dia ingin main ke rumah saya, waduh saya juga bingung karena saya juga belum pernah kedatangan teman cewek apalagi seperti dia, tapi dia terus memaksa saya.

Suatu hari di kampus, mata kuliah satu sudah selesai dan harus masuk lagi untuk mata kuliah yang kedua, tapi waktunya sore hari, dan ketika sudah selesai mata kuliah satu, kami pun merasa BT kalau di kampus saja, dan Resty memaksa saya untuk main ke rumah saya, katanya ingin tahu tempat tinggal saya dan sekaligus ingin curhat. Ya untungnya rumah saya itu hanya ada saudara saya (karena saya tidak tinggal bersama orang tua) dan rumah itu milik nenek saya. Oleh karena itu kehidupan saya bebas dan saling cuek sama anggota keluarga lainnya di rumah itu. Tidak ada saling curiga atau hal apapun, yang penting tidak saling merugikan satu sama lain.

Kami pun berdua pergi ke rumah saya. Siang bolong, ketika sudah sampai di rumah, Resty saya persilakan masuk ke kamar saya dan ternyata saya tidak grogi atas kedatangan cewek cantik ini. Dan ketika baru mengobrol sebentar lalu dia bicara, “Bimo tambah panas ajah yaah hawa di Semarang sekarang ini.”
“Iya nih!” sambil kubawakan minuman dingin yang sangat sejuk sekali.
“Bim… boleh nggak saya buka baju, kamu jangan malu Bim, saya masih pake pakaian dalam kok, habis panasss siiihh…”
Waduh memang saya merasa malu waktu itu dan sedikit deg-degan jantungku.
“Aduuh gimana kamu ini, emang kamu nggak malu sama aku?” bantahku.

Tapi kan dia sudah ngomong kalau dia masih memakai pakaian dalam. Kemudian saya keluar kamar sebentar untuk mengambil makanan ringan di lemari es, dan ketika saya memasuki kamar lagi, ya ampun.. pakaian dalam sih pakaian dalam tapi kalau ternyata kalau itu BH yang super tipis dan kelihatan puting susunya. Waduh, saya sangat grogi waktu itu dan saya pun sering memalingkan wajah, tapi tidak dapat dipungkiri, kemaluan saya pun berereksi dan aliran darah saya pun mengalir tidak karuan, apalagi hawa sedang panas-panasnya.
“Ayo sekarang kamu mau curhat lagi?” kataku.
“Nggak sih Bim, saya udah minta putus sama dia (pacarnya-red) dan dia setuju untuk resmi putus.”
“Ya udah… abis gimana lagi”, katanya.

Dalam hatiku, asyik dia sudah putus, dan saya pun berpura-pura bersedih, karena memang kasihan melihat wajahnya sedikit pucat dan sedikit menangis. Dia memelukku sambil sedikit bicara kepadaku, tapi itu lho anuku tidak bisa diam dan semakin panas saja suhu tubuhku. Ketika kuelus rambut dan punggungnya, eh dia menciumku dan kubalas ciumannya dan dia membalas lagi, semakin lama kami berciuman dan dia memasukkan lidahnya ke mulutku. Waduh, ini benar-benar mengasyikan dan terus terang ini adalah pertama kali bagiku. Dan dia pun mengeluarkan suara desahan yang sangat lembut dan sensual, dan dituntunnya tanganku ke buah dadanya, langsung saja kuremas-remas dan BH-nya pun kubuka. Wow, buah dada yang sangat indah, putih, bulat berisi dan mancung serta puting yang bagus, sedikit warna merah di seputar putingnya dan berwarna coklat di puncaknya, sekali-kali kupelentir putingnya dan dia pun mendesah kuat, “Ssstthhh ha.. hah.. aahh.. okhs Bim, bagus Bim, eeenakk”, suaranya yang kecil dan merdu. Dia membuka bajuku dan aku kini dibuatnya telanjang, tapi aku hanya pasrah saja, tidak ada rasa malu lagi.

“Apa kamu sering melakukan ini sama pacar kamu?” kataku.
“Iya Bim, tapi nggak sering.. aaksshhh…” kata dia sambil mendesah, tanganku diarahkannya ke liang kemaluannya, dan langsung kuelus-elus sambil lidahku menjilat putingnya yang indah itu. Sedikit-sedikit kuselingi dengan gigitan ringan tepat di puncaknya, dan dia menggeliat keenakan. Dan kemaluannya pun basah. Kubuka celananya dan celana dalamnya secara perlahan.

Oh iya, kami melakukannya di sofa kamarku tepat di depan TV dan stereo-set. Dan kami lagi sedang mendengarkan lagu-lagu rock barat tahun 70-an, ketika kubuka CD-nya, yes.. dia memiliki kemaluan yang bagus, bulu sedikit, dan memang dia masih perawan, dengan pacarnya juga hanya melakukan oral sex. Tetapi saya belum berani untuk menjilat kemaluannya, saya hanya mengesekkan tangan saya ke bibir kemaluannya. Eh ternyata dia turun dari sofa dan menghisap batang kemaluanku, “Aaakshh… hsstt oks!” dia menjilati biji pelerku dan dia mengisap kemaluanku lagi sambil dipegang dan dikocoknya. “Waduuhhh… enak sekalii akkhhss…” aliran-aliran darahku mengalir dengan serentak dan ingin kumasukkan kemaluanku ke liang kemaluannya, tapi apa dia mau? Beberapa menit kemudian.. “Bim, kamu punya barang gede enggak, kecil enggak, panjang enggak and pendek enggak, tapi bener Bim, saya sangat suka kamu punya barang”, katanya sambil berdiri dan lubang kemaluannya dihadapkannya ke wajahku aku semakin tidak kuat saja.

Langsung saja kujilat liang kemaluannya. Wah agak bau juga nih, tapi bau yang enak. Semakin lama semakin asyik dan sangat enak, dan dia pun merintih-rintih kecil, “Uwuuhh ooo… sstt akhs… akhs… akhs… ooohhh aahh… sstth”, sambil tubuhnya agak bergerak nggak karuan, mungkin jilatanku belum pintar tapi kulihat dia sedang keasyikan menikmati jilatanku. Lalu dia berdiri dan menarik tubuhku ke lantai. Di situ kami berciuman lagi, entah kenapa aku merasakan sesuatu yang hangat di sekitar liang kemaluannya, kuingin batang kemaluanku dimasukkannya ke lubang kemaluannya. Soalnya aku masih ragu. Tapi saya memberanikan untuk bicara.

“An, kamu masih perawan nggak?”
“Iya… aksshhh… ssstt… ssstt aakhs”, katanya. Ternyata dugaanku benar.
“Tapi sama pacar kamu itu?”
“Iya tapi kalau aku sama dia hanya oral aja”, kata Ani.
“Tapi Bim, gimana kalau kita ini sekarang…” dia tidak melanjutkan pembicaraannya.

“Okh… ookh… okh… ssstt…” dia mencoba untuk memasukan batang kemaluanku ke lubang kemaluannya dengan bantuan tangannya. Dengan begitu, aku pun berusaha untuk memasukkan batang kemaluanku ke lubang kemaluannya, dan secara perlahan kugesekkan batang kemaluanku ke liang kemaluannya dan sedikit demi sedikit kumasukkan kemaluanku, tapi ini hanya sampai kepala aja, dan… “Ooohh aaakksshh.. ahh.. ah.. aahh.. oohh… sset”, dia merintih- rintih. Aku terus menggenjot dia.
“Bim, ternyata pedih juga, aahhh!” katanya.
“Tapi teruskan saja Bim…”.

Kulihat wajahnya memang mengkhawatirkan juga, tapi yang kurasakan adalah kenikmatan, meskipun itu masih tersendat-sendat dan sedikit kehangatan, “Ookkhhss… sstt, aduh nikmatnya”, kataku. Dan memang ada sedikit darah di batang kemaluanku dan yes.. semua batang kemaluanku masuk, dan benar-benar nikmat tiada tara, dan hilanglah perawannya dan perjakaku.

“Sssttt.. sssttt..” desahannya yang merdu dan menggairahkan apalagi didukung oleh kecantikannya dan mulus kulitnya. Dan kami masih melakukan gaya konvensional dan terus kugenjot naik turun, naik turun dan tumben, aku masih kuat dan menahan kenikmatan ini, karena kalau aku sedang onani, tidak selama ini. Di lantai itu kami melakukannya serasa di surga. “Assh.. asshh.. aakss.. ooohh.. aksh.. sstt”, dia menjerit-jerit tapi biarlah kedengaran oleh saudaraku, yang lagi nonton TV di ruang keluarga.

Karena pasti suara jeritan Resty ini kedengaran. “Terus Bim, aduhh Bim kok enak sih… aaksss ssttss…” katanya sambil merem melek matanya dan bibirnya yang aduhai melongo ke langit dan langsung kujilat lidahnya. “Duuhhh aaahss sstt duh An, aku mau keluar nih!” kataku. “Uuhhsss ssttt jangan dulu dong Bim… bentar lagi aja”, katanya. Tapi memang saya waktu itu sudah nggak kuat, ehh ternyata… “Sss ooohh akkhhss… ooohh, duh Bim boleh deh sekarang, kamu dikeluarinnya di sini aja”, sambil ditunjukanya ke arah payudaranya. Dan… “Creett… cret… cret… crret” dan air maniku yang banyak itu menyemprot ke payudaranya dan sekitar lehernya. Selesailah main-main sama Resty, dan waktu pun menunjukan arah jam 5 lebih dan memang kami sudah telat untuk pergi lagi ke kampus memasuki pelajaran Mata Kuliah kedua.

Kami berdua terkulai dan ketiduran di lantai itu dalam keadaan masih telanjang, dan lagu di stereo tape-ku pun sudah lama habis. Bangun-bangun sudah hampir jam 19.00, kami pun bergegas berpakaian dan aku pergi ke kamar mandi untuk mandi, sesudah saya selesai mandi dia juga mandi, dan akhirnya kami pergi jalan-jalan sekalian mencari makan. Kami pergi ke daerah Merdeka dan makan. Sesudah itu kami nonton di Bioskop. Di E-Plaza (EP), lupa lagi waktu itu kami nonton apa. Sesudah selesai nonton Resty tidak mau pulang dia ingin menginap di rumah saya. Waduh celaka juga nih anak, ketagihan atau dia lagi ada masalah dengan keluarga di rumahnya. Setelah kami berbincang-bincang, ternyata dia tinggal tidak bersama orang tuanya, sama seperti saya. Dia tinggal bersama bibinya, dan memang tidak ada perhatian bibinya kepada Resty. Dan kami berdua pulang ke rumah saya dengan membawa makanan ringan, minuman (beer dan Fanta). Sesampainya di rumahku, kami berdua mengobrol lagi sambil menonton TV, dan kusuruh dia tidur duluan, kamipun tidur sambil berpelukan terbuai terbawa oleh mimpi indah kami berdua.

Sejak saat itulah kami resmi berpacaran, dengan begitu makin sering juga kami melakukan perbuatan “nikmat” seperti yang telah kami lakukan sebelumnya.